Provinsi Jawa Barat
Profil
Nama Resmi | : | Provinsi Jawa Barat |
Ibukota Provinsi | : | Bandung |
Luas Wilayah | : | 35.377,76 Km2 *) |
Jumlah Penduduk | : | 45.423.259 jiwa *) |
Suku Bangsa | : | Sunda dan lain – lain |
Agama | : | Islam : 34.884.290 (96,51%), Kristen Protestan : 449.261 (1,24%), Katholik : 254.336 (0,70%), Budha : 86.386 (0,24%), Hindu : 35.094 (0,10%) dan lain - lain 1.21% (Sumber: Jawa Barat dalam Angka Th, 2001) |
Wilayah Administrasi | : | Kab.: 17, Kota : 9, Kec.: 625, Kel.: 636, Desa : 5.227 *) |
Lagu daerah | : | Bubuy Bulan, Cing Cangkeling, Manuk Dadali, Panon Hideung, Pileuleuyan, Tokecang |
Website | : | http://www.jabarprov.go.id
*) Sumber : Permendagri Nomor 66 Tahun 2011
|
Sejarah
Sejarah
"Sunda" yang dimaksud di sini bersifat umum berdasarkan data atau
tulisan terbatas yang digunakan. Menurut data dan penelitian arkeologis,
Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama
sebelum Tarikh Masehi. Situs Purbakala di Ciampea (Bogor), Kelapa Dua
(Jakarta), Dataran Tinggi (Bandung) dan Cangkuang (Garut) memberi bukti
dan informasi bahwa lokasi - lokasi tersebut telah ditempati oleh
kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan organisasi sosial,
sistem mata pencaharian, pola pemukiman dan lain sebagainya sebagaimana
layaknya kehidupan masyarakat betapapun sederhananya.
Era
sejarah di Tanah Sunda baru mulai pada pertengahan abad ke-5 seiring
dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang
dipahat batu dengan menggunakan bahasa Sangsekerta dan Aksara Pallawa.
Prasasti - prasasti itu yang diketemukan di Ciaruteun daerah Bogor,
Bekasi dan Pandeglang dibuat zaman kerajaan Tarumanegara dengan salah
seorang rajanya bernama Purnawarman dan Ibukotanya terletak di Bekasi
sekarang. Pada masa itu sampai abad ke-7, sistem pemerintahan berbentuk
kerajaan, agama Hindu sebagai agama resmi negara, sistem kasta berbentuk
stratifikasi sosial dan hubungan antar negara telah mulai terwujud
walaupun masih dalam tahap awal dan terbatas.
Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra, India dan China merupakan negeri luar yang
menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanegara, tetapi kebudayaan Hindu
dari India yang dominan dan berpengaruh di sini. Kerajaan Sunda baru
muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan
Tarumanegara, pusat kerajaannya berada sekitar Bogor sekarang. Paling
tidak ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda sebagai nama kerajaan,
pertama dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi). kedua beberapa buah
naskah lama (Carita Parahiyangan, Sanghiyang siksa kendang karesian).
Ibu kota kerajaan Sunda di namai Pakuan Padjadjaran.
Dalam
tradisi lisan dan Naskah sesudah Abad ke-17, Pakuan biasa disebut untuk
nama Ibu kota sedangkan Padjadjaran untuk menyebutkan kerajaan.
Kerajaan ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuh sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa kejayaan antara
lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh Tatar Sunda,
kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan dengan dunia luar
(Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada dua raja
termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga
Maharaja). Ibu
kotanya pernah berada di Kawali, Galuh. Pada masa pemerintahan Prabu
Maharaja (1350-1352) terjadi konflik dengan Majapahit, karena masalah
pernikahan putri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), dan putranya, Prabu Surawisesa (1521-1535) terjalin
hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara kerajaan Padjadjaran
dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dari kerajaan ini
dihasilkan beras dan lada yang bisa diekspor. Kota
Pelabuhan yang besar antara lain Banten, Sunda Kelapa (Jakarta
sekarang) dan Cirebon, sistem ladang merupakan cara bertani rakyatnya.
Ada jalan raya darat yang menghubungkan Ibukota kerajaan dengan Banten
disebelah barat, Kelapa disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh
disebelah timur. Dari daerah pedalaman ke pesisir utara dihubungkan
dengan jalur lalu lintas sungai dan jalan menyusuri pantai.
Pedagang Islam sudah berdatangan ke kota - kota pelabuhan Kerajaan Sunda untuk berdagang dan memperkenalkan ajaran Islam. Lama kelamaan para pedagang Islam bermukim di kota - kota pelabuhan Sunda, terutama di Banten, Karawang dan Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang menganut Agama Islam. Berkat
dukungan Kesultanan Demak berdirilah kekuasaan Islam di Cirebon dan
Banten yang dalam perkembangan selanjutnya mendesak kekuasaan kerajaan
Sunda sampai akhirnya menumbangkan sama sekali (5179). Sementara di daerah pesisir berkembang kekuasaan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan di daerah pedalaman muncul kabupaten - kabupaten yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu : Sumedang, Galuh, Sukapura, Limbangan, Parakanmuncung, Bandung, Batulayang dan Cianjur.
Periode
selajutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda mengalami babak baru,
karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan
Kompeni Belanda (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur
kekuasaan Mataram (sejak 1625). Secara perlahan - lahan tapi pasti akhirnya seluruh Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19) karena itu mulailah zaman kekuasaan kolonial Hindia Belanda.
Tanah Sunda yang subur dan orang - orang
yang rajin bekerja menjadikan pengeksploitasian tersebut sangat
mengutungkan penguasa kolonial Belanda sehingga membawa kemakmuran yang
luar biasa bagi mereka yang tinggal disini dan yang berada di tanah
leluhurnya (Belanda).
Sebaliknya rakyat pribumi tidak mengecap keuntungan yang setimpal
dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan banyak yang hidupnya
menderita, kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat dan kerjasama
dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum Menak.
Pada
sisi lain masuknya penjajahan itu menimbulkan ketidakpuasan dan bahkan
penentangan sebagian masyarakat. Di bawah beberapa pemimpinnya timbulah
serangkaian perlawanan dan pemberontakan rakyat, seperti yang dipimpin oleh Dipati Ukur di Priangan (1628 - 1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan pangeran Purbaya di Banten (1659 - 1683), Prawatasari di Priangan (1705 - 1708), Kiai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750 - 1752), Bagus Rangin (1802 - 1818), Kiai Hasan Maulani di Kuningan (1842), Kiai Washid di Banten (1888), Kiai Hasan Arif di Garut (1918).
Ketidakpuasan masyarakat terus
berlanjut, walaupun penguasa kolonial mengupayakan perbaikan kehidupan
masyarakat melalui program pendidikan, pertanian, perkreditan dan juga
menerapkan sistem ekonomi bagi Pemerintahan Pribumi. Sejak awal abad ke-20 muncul
gerakan penentang sosial dan organisasi politik seperti Sarekat Islam,
Indische Partij, Paguyuban Pasundan dan Partai Nasional Indonesia.
Melalui pendudukan Militer Jepang (1942 - 1945) yang mengakhiri kekuasaan kolonial Hindia Belanda (menyerah di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942)
dan menumbuhkan keberanian di kalangan orang pribumi untuk melawan
kekuasaan asing dan memberikan bekal keterampilan perang pada tahun 1945
masyarakat Sunda, umumnya masyarakat Indonesia berhasil mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu masyarakat dan Tanah Sunda berada
dalam lingkungan negara Republik Indonesia.
Secara historis Propinsi Jawa Barat yang dibentuk berlandaskan Undang - undang No. 11 Tahun 1950 dengan Bandung sebagai ibukotanya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Pemerintah Daerah berpedoman pada Undang - undang Dasar 1945, Undang - undang No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan peraturan perundangan lainnya, dan dalam perkembangan terakhir dengan berlakunya Undang - undang No. 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan Otonomi Daerah.
Dengan terbentuknya Propinsi Banten pada bulan Nopember tahun 2000, jumlah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat terdiri dari 16 Kabupaten, yaitu Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan dan 9 Kota, yaitu Bandung, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar.
Lambang
berbentuk bulat telur, bentuk ini berasal dari bentuk perisai yang
banyak dipakai oleh laskar-laskar kerajaan zaman dahulu :
KUJANG
- Gambar pokok
- Sebuah alat serbaguna yang sangat dikenal disetiap rumah tangga sunda
- Jika perlu dapat dipergunakan sebagai alat penjaga diri
- 5 lubang melambangkan Lima Dasar Negara "Pancasila"
PADI
- melambangkan PANGAN yang merupakan bahan makanan pokok di Jawa Barat
- Jumlah padi 17 melambangkan hari ke 17 dari bulan Proklamasi
KAPAS
- Melambangkan SANDANG
- Jumlah kapas 8 buah melambangkan bulan ke 8 dari tahun Proklamasi
- Padi dan Kapas pada dasar hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran tanah Jawa Barat
GUNUNG
Bagian terbesar dari daerah Jawa Barat adalah pegunungan
SUNGAI DAN PERKEBUNAN
Melambangkan sungai, terusan dan saluran air yang banyak terdapat di daerah Jawa Barat
SAWAH DAN PERKEBUNAN
- Jumlah sawah terbesar di seluruh daerah Jawa Barat
- Perkebunan berada di bagian tengah dan selatan daerah Jawa Barat
DAM DAN BENDUNGAN
Usaha dan pekerjaan di bidang irigasi merupakan salah satu pekerjaan yang mendapat
KUJANG
- Gambar pokok
- Sebuah alat serbaguna yang sangat dikenal disetiap rumah tangga sunda
- Jika perlu dapat dipergunakan sebagai alat penjaga diri
- 5 lubang melambangkan Lima Dasar Negara "Pancasila"
PADI
- melambangkan PANGAN yang merupakan bahan makanan pokok di Jawa Barat
- Jumlah padi 17 melambangkan hari ke 17 dari bulan Proklamasi
KAPAS
- Melambangkan SANDANG
- Jumlah kapas 8 buah melambangkan bulan ke 8 dari tahun Proklamasi
- Padi dan Kapas pada dasar hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran tanah Jawa Barat
GUNUNG
Bagian terbesar dari daerah Jawa Barat adalah pegunungan
SUNGAI DAN PERKEBUNAN
Melambangkan sungai, terusan dan saluran air yang banyak terdapat di daerah Jawa Barat
SAWAH DAN PERKEBUNAN
- Jumlah sawah terbesar di seluruh daerah Jawa Barat
- Perkebunan berada di bagian tengah dan selatan daerah Jawa Barat
DAM DAN BENDUNGAN
Usaha dan pekerjaan di bidang irigasi merupakan salah satu pekerjaan yang mendapat
perhatian, mengingat sifat agraris daerah Jawa Barat
ARTI MOTTO DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
GEMAH RIPAH REPEH RAPIH
Sebuah pepatah lama di kalangan masyarakat sunda yang berarti bahwa daerah Jawa Barat
yang kaya raya ini didiami oleh penduduk yang padat serta hidup makmur dan damai
Nilai Budaya
Upacara
adat perkawinan Sunda merupakan tambahan dari acara pokoknya, yaitu
ijab dan qobul sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Agama Islam.
Tambahan acara ini seringkali menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu
oleh yang hadir karena mengandung hal-hal yang bersifat humoris dan ada
sesuatu yang dibagikan kepada hadirin. Namun demikian, acara adat
tersebut tidaklah ada kaitannya dengan acara pokok akad nikah. Hal
demikian itu, hanya sekedar hiburan sebagaimana halnya penyajian
lagu-lagu, kasidahan atau orkes dangdut.
Bagian-bagian acara adat yang biasa dilaksanakan meliputi; nincak endog (menginjak
telur) yang maksudnya adalah bahwa si mempelai penganten itu akan
memulai malam pertamanya dengan indah. Ketika melaksanakan malam pertama
itu, si penganten harus benar-benar hati-hati dan tidak “grasa-grusu”,
sehingga nantinya menghasilkan yang baik. Nincak elekan (menginjak
semacam bamboo yang biasa dibuat suling) maksudnya hamper sama. Hanya
saja ini disimbolkan kepada “wanita”, sedangkan telor, lebih disimbolkan
kepada laki-laki.
Selanjutnya, Meuleum Harupat (membakar
segenggam yang berisi tujuh buah potongan lidi), maksudnya adalah
membuang atau membakar sifat-sifat jelek yang ada pada diri manusia,
seperti : iri, dengki, mudah tersinggung, pemarah, kikir, tamak dan
sombong. Kemudian, Meupeuskeun kendi (memecahkan kendi), yang maknanya sama dengan akan melepasnya masa bujang dan gadis pada malam pertama.
Sedangkan, Ngaleupaskeun Japati (melepaskan burung dara) dan Melempar kanjutkunang (melempar
tas kecil terbuat dari kain) kepada yang hadir, adapt ini
melambangkan/symbol, bahwa kedua orang tua melepas penganten yang
terakhir di keluarganya. Jadi yang terdapat dikeluarhganya dihabiskan
atau dibagikan sebagai ungkapan rasa kebahagiaan atau pula sebagai tanda
bahwa orang tua tersebut mengawinkan anaknya yang terakhir.
Setelah itu acara sawer,
yaitu melemparkan barang-barang seperti, beras kuning, permen, dan uang
recehan seraya dibarengi lagu-lagu yang berisi pepatah bagi pengantin.
Beras kuning, permen dan uang recehan adalah symbol keduniaan yang harus
dicari oleh khususnya pihak laki-laki dan dipelihara oleh pihak wanita
(isteri).
Setelah sawer kemudian dilakukan acara buka panto (buka pintu) yang dimaksudkan pembelajaran kepada pengantin dalam hal tata krama di rumah antara suami dan isteri.
Akhir
dari acara adat pengantin sunda adalah acara “huap lingkung” yang
berisi saling menyuapi dengan air minum, nasi kuning dan pabetot-betot
bakakak (saling menarik ayam panggang) bagi yang dapat bagian terbesar
dari ayam tersebut adalah pertanda akan mendapat rezeki yang banyak
(jikalau diusahakan dengan baik). Pada acara huap lingkung inipun,
dilakukan huap deudeuh dan huap geugeut yang artinya saling memberi
sebagai tanda kasih sayang.
Sehari sebelum acara perkawinan dimulai, dilakukan terlebih dahulu acara siraman terhadap kedua calon mempelai (secara terpisah) oleh kedua orang tua calon mempelai. Acara ini meliputi kegiatan; mandi kembang, berjalan diatas tujuh helai kain samping dan pengajian sebagai ugkapan permohonan keselamatan. Acara siraman ini dimaksudkan sebagai tanda kasih sayang orang tua yang terakhir khususnya dalam memandikannya karena setelah berkeluarga diserahkan kepada masing-masing. Acara sebelum hari pokok ini hampir sama untuk setiap daerahnya, baik acara Penganten jawa atau bahkan Sumatera.
Mengenai
Lamanya acara adat ini, biasanya sekitar dua jam dan dipandu oleh juru
rias serta MC yang mengambil tempat biasanya di depan rumah (halaman
depan) atau diselenggarakan secara khusus di gedung tempat resepsi
dengan harapan dapat disaksikan oleh para tamu undangan.
Tidak
semua acara perkawinan diikuti acara adat. Mungkin bagi mereka yang
ingin simple-simpel saja pasti tidak dilakukan, tapi bagi mereka
keluarga yang masih memegang kuat adapt walaupun anak-anaknya tidak
saja, apa boleh buat harus diikuti. Sekali lagi diingatkan, bahwa acara
adat itu sekedar tambahan yang bersifat hiburan dan tidak mengandung
makna ibadah langsung. Sekedar meramaikan. Dikerjakan boleh, tidakpun
tidak apa-apa.
Sumber : http://www.kemendagri.go.id
0 komentar: