Suku Asmat
Nama
Asmat dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada tahun 1770 sebuah
kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh teluk di daerah
Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan
laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna
merah, hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan berhasil melukai
serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian pada
tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu
teluk di pesisir barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang dialami
oleh James Cook dan anak buahnya. Mereka didatangi oleh ratusan
pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini
tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang
menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat,
mereka berhasil melakukan pertukaran barang.
Sejak
itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan
daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah
ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh seseorang berkebangsaan
Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga 1909. Kemudian
ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai
1913.
Suku
Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan
ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya
kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi
sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat
berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS (Pusat
Kesehatan Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan
peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah dan masayarakat
Asmat.
- Asal Usul Suku Asmat
Menurut
Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda,
orang-orang Asmat mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang
Pencipta). Konon, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat
dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok
burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah
daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang
yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun
ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang
ditabuhnya setiap hari.
Tiba-tiba,
bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti
irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian
berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti
irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut
bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits terus
mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah
panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi
orang-orang Asmat seperti saat ini. Bentuk tubuh orang Asmat berbeda
dengan penduduk lainnya yang berdiam di pegunungan tengah atau di nagian
pantai lainnya.
Tinggi
badan kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum
perempuan tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter. Ciri-ciri bagian
tubuh lainnya adalah bentuk kepala yang lonjong (dolichocephalic), bibir
tipis, hidung mancung, dan kulit hitam. Orang Asmat pada umumnya tidak
banyak menggunakan kaki untuk berjalan jauh, oleh karena itu betis
mereka terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat mereka mendayung
dengan posisi berdiri sehingga otot-otot tangan dan dadanya tampak
terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum perempuan kelihatan kurus karena
banyaknya perkerjaan yang harus mereka lakukan.
Suku
Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah
tersebut masih merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di
pesisir barat daya Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal
di wilayah administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4
kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat
telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat.
Jumlah
penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan pada
tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di
Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara
28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.
Secara
keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9
persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21
sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua
setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar
kelompok atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab
kematian anak-anak dan bayi, terutama pada bulan-bulan pertama banyak
disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.
Perkampungan
orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan
jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola
memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga
mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat
dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian
tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai,
rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu
sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.
Suku
Asmat mempunyai kebiasaan dan adat istiadat yang khas diantaranya
membuat ukiran tanpa ada sketsa dulu. Ukiran-ukiran yang dibuat oleh
orang Asmat memiliki makna sebagai persembahan atau ucapan rasa syukur
kepada nenek moyang. Mengukir adalah jalan untuk berinteraksi dengan
leluluhur. Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu dan pesta Topeng
sebagai bentuk upaya menghindarkan diri dari musibah dan marabahaya.
Selain itu, Suku Asmat juga suka berhias.
Sumber : http://kebudayaanindonesia.net/
0 komentar: