Tari Gambuh
Gambuh adalah sebuah drama tari
warisan budaya Bali, yang memperoleh pengaruh dan drama tari zaman Jawa-Hindu
di Jawa Timur, yang dikenal dengan nama Rakêt
Lalaokaran. Drama tari klasik yang lahir di Puri pada masa lampau, masih dilestarikan diberbagai daerah di
Bali, yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan kerajaan. Rakêt telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, dan baru
disebutkan lagi dalam Kidung Warjban
Wideya dari abad XVI. Rakêt Lalaokaran yang
juga disebut Gambuh Ariar adalah pertunjukan
berlakon yang merupakan perpaduan antara Rakêt
dengan Gambuh. Gambuh abad XVI
ini adalah tarian perang yang merupakan kelanjutan dan Bhata Mapdtra Yuddha, yaitu tarian perang untuk menghibur rakyat
Majapahit yang melaksana upacara Shreiddha.
Penelitian yang mengkaji asal-usul Gambuh serta pengaruhnya pada dramatari Arja ini, merupakan penelitian
kualitatif yang menggunakan pendekatan etnokoreologi, yaitu sistem analisis
yang memadukan penelitian tekstual dengan penelitian kontekstual. Kedua drama
tari ini memiliki aspek-aspek yang multilapis, sehingga dalam kajiannya akan
melibatkan pula metode, teori maupun konsep-konsep disiplin lainnya. Penelitian
untuk disertasi ini juga menyajikan pembahasan tekstual secara lebih rinci,
yaitu dengan melakukan perbandingan antara Gambuh
dengan Arja dilihat dari unsur-unsur yang
membangun kedua drama tari tersebut. Studi banding ini dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa banyak persamaan yang dimiliki, serta seberapa jauh
perbedaan yang ditunjukkan oleh kedua drama tari tersebut.
Terwujudnya Gambuh sebagai dramatari istana yang adiluhung telah memberikan
pengaruh yang besar pada kehidupan seni pertunjukan di Bali. Gambuh yang terbentuk di Bali tidak
hanya memperkenalkan cerita sebagai lakon yang memunculkan adanya struktur
dramatik yang lengkap, akan tetapi memperkenalkan pula koreografi yang rumit
dan penampilan yang artistik, untuk hiburan raja dan para bangsawan kerajaan.
Bentuk pertunjukan Gambuh memiliki
standar kualitas tertentu yang mencirikan Gambuh,
yaitu memiliki struktur pertunjukan dan koreografi serta iringan musik yang
pasti, perbendaharaan gerak yang lengkap dengan aturan-aturan yang ketat, yang
tidak dimiliki oleh Bali sebelumnya. Begitu pula kostum yang digunakan sangat
megah, berbeda dengan kostum yang digunakan oleh tarian-tarian sebelumnya yang
sangat sederhana. Itulah yang menyebabkan Gambuh
dikatakan sebagai sumber drama tari
yang muncul kemudian di Bali.
Salah satu drama tari yang mendapat
pengaruh dari Gambuh adalah drama
tari opera arja. Arja adalah
dramatari opera yang menggunakan tembang
dan dialog sebagai media ungkap lakon yang ditampilkan. Dilihat dari bentuk
pertunjukkan arja yang sekarang
dengan bentuk pertunjukan pada mulanya ketika masih disebut dadap, tampak perbedaan yang sangat
mencolok. Hal ini menunjukkan perbedaan dramatari opera arja seperti sekarang ini telah melalui suatu proses transformasi
dengan rentangan waktu yang sangat lama. Dramatari arja yang muncul dikalangan masyarakat jelata sebagai sebuah
pertunjukan yang sederhana pada mulanya, telah berubah secara bertahap menjadi
bentuk seni pertunjukan yang memiliki unsur-unsur pokok Gambuh dalam bentuk yang lebih menarik.
Gambuh yang muncul sebagai drama tari
istana telah berkembang sesuai dengan kehidupan masyarakat Bali yang religius.
Ditemukannya lontar Dharma Pagambuhan dalam
penelitian ini, menunjukan hubungan yang erat antara seni pertunjukan dengan
kehidupan ritual keagamaannya. Lontar Dharma
Pagambuhan merupakan lontar tuntunan spiritual untuk dramatari Gambuh, yang berisi pertunjukan berupa
mantra-mantra yang harus diketahui oleh penari maupun Penabuh Gambuh. Lontar ini juga memuat jenis-jenis sesajen yang
harus dipersembahkan ketika melakukan pementasan Gambuh. Digunakannya jenis-jenis sesajen yang dimuat dalam Dharma Pagambuhan oleh genre seni pertunjukan lainnya di Bali
merupakan pertunjukan pula, bahwa Gambuh adalah
sumber drama tari Bali yang tercipta kemudian.
Penelitian ini telah menunjukkan
bahwa Gambuh memang berasal dari
zaman Jawa-Hindu di Jawa Timur, yang telah mengalami perubahan dan perkembangan
di Bali. Kehadiran Gambuh tepat pada
saat bali sedang mengalami kebangkitan kembali dalam bidang seni, yaitu pada
zaman pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Gambuh yang memiliki elemen-elemen dramatari yang sangat lengkap,
telah menjadikannya lengkap, telah menjadikannya sumber, yang kemudian
mempengaruhi bentuk-bentuk seni pertunjukan yang lahir kemudian. Arja merupakan transformasi Gambuh ke dalam bentuk pertunjukan yang
memiliki nuansa baru serta karakter yang berbeda dengan sumbernya. Arja memiliki unsur-unsur pokok Gambuh dalam bentuk yang lebih menarik,
dalam arti sesuai dengan jiwa zamannya. Semua itu berkat peran para penari Gambuh yang terlibat dalam
pembentukannya, termasuk peran istana yang telah membangun arja sebagai arja due purl (arja milik istana), yang juga turut memberikan pengaruh dan dampak yang menguntungkan
dalam dunia seni pertunjukan di Bali. Tari gambuh biasanya dipentaskan pada
saat Hari Raya Galungan dalam rangka mengiringi serangkaian upacara pada Hari
Raya Galungan tersebut selain itu juga dipergunakan pada saat orang setempat
melaksanakan acara pernikahan, selain itu juga banyak dicari atau diundang oleh
desa tetangga dalam rangka mengiringi upacara yadnya juga, orang setempat menyebutnya
Nunas Tirta Gambuh. Pada hari Raya Galungan, Tari Gambuh ini dipentaskan pada
sore atau malam hari H. Tokoh - tokoh dalam tari Gambuh tersebut lumayan banyak
juga. Awalnya tari Gambuh ini dimulai dengan mementaskan 2 penari dengan tokoh
"Condong dan Galuh" biasanya disebut Salah satu keunikan Gambuh
adalah pada bentuknya, yang merupakan gabungan antara tari Jawa dan tari Bali,
dimana Gambuh memasukkan cerita dalam tarian Bali karena tarian Bali pada zaman
Pra-Hindu tidak memiliki cerita. Dalam perkembangannya, Gambuh yang semula
hanya mengambil cerita Panji kemudian dapat menampung berbagai cerita klasik
yang sesuai dengan struktur dramatikanya.
KESIMPULAN
Tari Gambuh adalah
tarian drama tari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan merupakan drama
tari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari sehingga sebagai sumber
segala jenis tari klasik Bali. Diperkirakan Gambuh ini muncul sekitar abad
ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total theater
karena dikarena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan
tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya. Pementasanya dalam upacara-upacara
Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga
bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lainya sebagainya. Diiringi dengan
gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa
ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya atau Kadean-kadean, Panji
(Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan
Prabu. Dalam memainkantokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya
bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas,
Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar.
Gambuh yang masih aktif
hingga kini terdapat di desa:
·
Batuan (Ginayar)
·
Padang Aji dan budakeling
(Karangasem)
·
Pedungan (Denpasar)
·
Apit Yeh (Tabanan)
·
Anturan dan Naga Sepeha
(Buleleng)
4tmaj4.wordpress.com
0 komentar: