Profil
Nama Resmi | : | Provinsi Sumatera Barat |
Ibukota | : | Padang |
Luas Wilayah | : | 42.012.89 Km2 *) |
Jumlah Penduduk | : | 5.133.286 Jiwa *) |
Suku Bangsa | : | Minangkabau, Guci, Jaubak, Piliang, Chaniago, Tanjung, Koto |
Agama | : | Islam 98 %, Kristen 1,6 %, Lain-lain 0,4 |
Wilayah Administrasi | : | Kab.: 12, Kota: 7, Kec.: 176, Kel.: 303, Desa : 711 *) |
Lagu Daerah | : | Baresolok, Paku, Galang dan Kambanglah Bungo |
Website | : | http://www.sumbarprov.go.id
*) Sumber : Permendagri Nomor 66 Tahun 2011
|
Sejarah
Dari
jaman prasejarah sampai kedatangan orang Barat, sejarah Sumatera Barat
dapat dikatakan identik dengan sejarah Minangkabau. Walaupun
masyarakat Mentawai diduga telah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti
tentang keberadaan mereka masih sangat sedikit.
Pada periode
kolonialisme Belanda, nama Sumatera Barat muncul sebagai suatu unit
administrasi, sosial-budaya, dan politik. Nama ini adalah terjemahan
dari bahasa Belanda de Westkust van Sumatra atau Sumatra's Westkust, yaitu suatu daerah bagian pesisir barat pulau Sumatera.
Memasuki abad ke-20 persoalan yang dihadapi Sumatera Barat menjadi semakin kompleks. Sumatera
Barat tidak lagi identik dengan daerah budaya Minangkabau dan telah
berubah menjadi sebuah mini Indonesia. Di daerah ini bermukim sejumlah
besar suku bangsa Minangkabau penganut sistem matrilineal, suku bangsa
Tapanuli dengan sistem patrilinealnya dan suku bangsa Jawa dengan
sistem parentalnya. Di samping itu juga ada masyarakat Mentawai,
Nias, Cina, Arab, India serta berbagai kelompok masyarakat lainnya dengan berbagai latar belakang budaya yang beraneka ragam.
Di Sumatera Barat banyak ditemukan peninggalan jaman prasejarah di Kabupaten 50 Koto, di daerah Solok Selatan dan daerah Taram. Sisa-sisa
peninggalan tradisi barn besar ini berwujud dalam berbagai bentuk;
bentuk barn dakon, barn besar berukir, barn besar berlubang, barn
rundell, kubur barn, dan barn altar, namun bentuk yang paling dominan
adalah bentuk menhir. Peninggalan jaman prasejarah lainnya yang juga
ditemukan adalah gua-gua alam yang dijadikan sebagai tempat hunian.
Bukti-bukti
arkeologis yang ditemukan di atas bisa memberi indikasi bahwa
daerah-daerah sekitar Kabupaten 50 Koto merupakan daerah atau kawasan
Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang Sumatera Barat.
Penafsiran ini rasanya beralasan, karena dari daerah 50 Koto ini
mengalir beberapa sungai besar yang akhirnya bermuara di pantai timur
pulau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi
sarana transportasi yang penting dari jaman dahulu hingga akhir abad
yang lalu.
Nenek
moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka
berlayar dari daratan Asia (Indo-Cina) mengarungi laut Cina Selatan,
menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan
Indragiri (atau; Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan
mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten 50
Koto sekarang.
Percampuran
dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya menyebabkan tingkat
kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka jadi bertambah.
Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka
menyebar ke berbagai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi
ke daerah kabupaten Agam dan sebagian lagi sampai ke Kabupaten Tanah
Datar sekarang. Dari sini penyebaran dilanjutkan lagi, ada yang sampai
ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir.
Banyak di antara mereka menyebar ke bagian barat terutama ke daerah
pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke
daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung.
Sejarah
daerah Propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa
pemerintahan Raja Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan
prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya
sebagai Raja Minangkabau. Adityawarman memang pernah memerintah di
Pagaruyung, suatu negeri yang dipercayai warga Minangkabau sebagai
pusat kerajaannya.
Adityawarman
adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di samping
memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga
membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya
yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Budha. Agama ini pernah
punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Terbukti dari nama
beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau
Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur,
dan Selo.
Sejarah
Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan abad ke-17
terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera Barat
dengan dunia luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera Barat
waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memonopoli
kegiatan perekonomian di daerah ini. Seiring dengan semakin
intensifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke
Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang
begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera
Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh
Burhanuddin dianggap sebagai penyebar pertama Islam di Sumatera Barat.
Sebelum mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah
menuntut ilmu di Aceh.
Pengaruh
politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera
Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidakpuasan ini akhirnya
diungkapkan dengan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran
Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat.
Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Barat memasuki era
kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang
Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelancong
berkebangsaan Prancis yang bernama Jean Parmentier yang datang sekitar
tahun 1523. Namun bangsa Barat yang pertama datang dengan tujuan
ekonomis dan politis adalah bangsa Belanda. Armada-armada dagang
Belanda telah mulai kelihatan di pantai barat Sumatera Barat sejak
tahun 1595-1598, di samping bangsa Belanda, bangsa Eropa lainnya yang
datang ke Sumatera Barat pada waktu itu juga terdiri dari bangsa
Portugis dan Inggris.
ARTI
BENTUK Bentuk perisai persegi lima, melambangkan bahwa propinsi
Sumatera Barat adalah merupakan salah satu dari daerah-daerah propinsi
dalam lingkungan wilayah negara kesatuan republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Rumah
Gadang/Balai Adat adalah tempat bermufakat atau tempat lahirnya
filsafat alam pikiran Minangkabau yang mashur, demokrasi menurut alur
dan patut sebagai lambang konsekwen melakanakan demokrasi.
Atap
Masjid Bertingkat Tiga dan Bergonjong Satu melambangkan salah satu dari
bentuk rumah ibadah yang khas menurut arsitektur alam Minangkabau asli,
yang melambangkan agama Islam sebagai salah satu agama yang pada
umumnya dipeluk masyarakat.
Bintang Segi Lima melukiskan nur cahaya dari pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
tap Rumah Gadang/Balai Adat Minangkabau Bergaya Tajam dan Runcing ke Atas merupakan gaya pergas yang tangkas dalam seni bangunan khas alam Minangkabau yang melambangkan sifat rakyatnya yang dinamis, bekerja keras dan bercita-cita luhur untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Empat Buah Gonjong Rumah Adat/Balai Adat dan Sebuah Gonjong Mesjid yang Menjulang Tinggi Keangkasa melambangkan keluruhan sejarah Minangkabau dari zaman ke zaman dalam semboyan kata 'Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulah '.
Gelombang Air Laut adalah suatu lambang dinamika dari masyarakt Minangkabau.
ARTI MOTTO
'Tuah Sakato' berarti sepakat untuk melaksanakan hasil mufakat/musyawarah dan sebagai slogan kata (tanda kebesaran) yang terkandung dalam pribahasa Indonesia 'Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh'
ARTI WARNA
Warna dalam lambang ini berarti/bermakna, Putih berarti suci, Merah Jingga berarti berani, Kuning Emas berarti agung, Hitam Pekat berarti abadi, tabah, ulet/tahan tapo, Hijau Cerah Bersrti harapan masa depan.
Bintang Segi Lima melukiskan nur cahaya dari pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
tap Rumah Gadang/Balai Adat Minangkabau Bergaya Tajam dan Runcing ke Atas merupakan gaya pergas yang tangkas dalam seni bangunan khas alam Minangkabau yang melambangkan sifat rakyatnya yang dinamis, bekerja keras dan bercita-cita luhur untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Empat Buah Gonjong Rumah Adat/Balai Adat dan Sebuah Gonjong Mesjid yang Menjulang Tinggi Keangkasa melambangkan keluruhan sejarah Minangkabau dari zaman ke zaman dalam semboyan kata 'Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulah '.
Gelombang Air Laut adalah suatu lambang dinamika dari masyarakt Minangkabau.
ARTI MOTTO
'Tuah Sakato' berarti sepakat untuk melaksanakan hasil mufakat/musyawarah dan sebagai slogan kata (tanda kebesaran) yang terkandung dalam pribahasa Indonesia 'Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh'
ARTI WARNA
Warna dalam lambang ini berarti/bermakna, Putih berarti suci, Merah Jingga berarti berani, Kuning Emas berarti agung, Hitam Pekat berarti abadi, tabah, ulet/tahan tapo, Hijau Cerah Bersrti harapan masa depan.
Nilai Budaya
Kebudayaan
yang hidup dalam Propinsi Sumatera Barat disebut kebudayaan
Minangkabau. Berdasarkan pengamatan dan penelitian, kebudayaan ini
cukup kaya, bersumber dari nilai-nilai luhur yang ditinggalkan atau
diwariskan para nenek moyang. Kebudayaan ini pernah mengalami puncak
keemasannya pada jaman kejayaan Kerajaan Pagaruyung, khususnya semasa
kepemimpinan Raja Adityawarman.
Dewasa
ini masyarakat Minangkabau yang terkenal teguh dalam memegang adat
berusaha untuk memelihara khasanah budaya peninggalan para leluhur.Propinsi Sumatera Barat memiliki satu lembaga adat yang amat berwibawa, yang terkenal dengan nama Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau atau LKAAM. Lembaga ini memiliki wewenang besar dalam menentukan masalah-masalah adat dan kebudayaan dalam masyarakat Minangkabau. Karena itu sungguh tidak mengherankan kalau seseorang yang dipercayakan untuk memimpin lembaga ini dianggap memiliki satu kelebihan tersendiri sebagai seorang tokoh yang diterima kaum adat.
Pada umumnya hal-hal yang berkenaan dengan kebudayaan itu dapat dikategorikan dalam empat bidang. Pertama adalah bidang kesejarahan serta permuseuman, kedua adat-istiadat, bahasa dan sastra, ketiga kesenian, dan keempat perbukuan atau perpustakaan.
Bangunan bersejarah di Sumatera Barat antara lain meliputi : Istana Pagaruyung, museum Taman Bundo Kanduang di Bukittinggi, museum perjuangan rakyat, rumah gadang di Koto Nan Ampek, rumah gadang di Padang Lawas, balairung sari di Tabek serta mesjid di Ampang Gadang dan situs kepurbakalaan di Tanah Datar.
Falsafah Hidup Masyarakat setempat
Masyarakat Minangkabau dalam mengambil keputusan menggunakan motto :
"Bulek Aik Dek Pam Buluh, Buluk Kato De Mufakat", artinya segala sesuatu yang akan diputuskan harus dimusyawarahkan terlebih dahulu.Motto bagi seorang pemimpin adalah :
"Tibo Dimato Dipiciangkan, Tibo Diparuk Dikampihkan", artinya bagi seorang pemimpin harus bertindak adil, atau tidak pilih kasih.
Ada empat kriteria pokok seorang pemimpin menurut budaya Minangkabau :
Tinggi tampak jauah dan nan gadang jolong basuo, artinya tinggi kelihatan dari jauh dan yang besar awal bertemu.
Tinggi dek dianjuang, gadang dek diambak (tinggi karena diangkat, besar karena dipupuk), artinya keberadaanya diterima umat, kaum dan bangsa.
Tinggi menyentak rueh (tinggi karena ruas), artinya mempunyai integritas pribadi, berilmu pengetahuan, berwawasan luas.
Pemimpin didahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang, artinya pemimpin tidak membuat jarak dengan rakyat.
Sumber : Kemendagri.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar