Jumat, 21 November 2014

Provinsi Jawa Barat

Profil

 

Nama Resmi : Provinsi Jawa Barat
Ibukota Provinsi : Bandung
Luas Wilayah : 35.377,76 Km2 *)
Jumlah Penduduk : 45.423.259 jiwa *)
Suku Bangsa : Sunda dan lain – lain
Agama : Islam : 34.884.290 (96,51%), Kristen Protestan : 449.261 (1,24%), Katholik : 254.336 (0,70%), Budha : 86.386 (0,24%), Hindu : 35.094 (0,10%) dan lain - lain 1.21%  (Sumber: Jawa Barat dalam Angka Th, 2001)
Wilayah Administrasi : Kab.: 17,  Kota : 9,  Kec.: 625,  Kel.: 636, Desa :  5.227 *)
Lagu daerah : Bubuy Bulan, Cing Cangkeling, Manuk Dadali, Panon Hideung, Pileuleuyan, Tokecang
Website : http://www.jabarprov.go.id
*) Sumber : Permendagri Nomor 66 Tahun 2011

Sejarah

Sejarah "Sunda" yang dimaksud di sini bersifat umum berdasarkan data atau tulisan terbatas yang digunakan. Menurut data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs Purbakala di Ciampea (Bogor), Kelapa Dua (Jakarta), Dataran Tinggi (Bandung) dan Cangkuang (Garut) memberi bukti dan informasi bahwa lokasi - lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan organisasi sosial, sistem mata pencaharian, pola pemukiman dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat betapapun sederhananya.
Era sejarah di Tanah Sunda baru mulai pada pertengahan abad ke-5 seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat batu dengan menggunakan bahasa Sangsekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti - prasasti itu yang diketemukan di Ciaruteun daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang dibuat zaman kerajaan Tarumanegara dengan salah seorang rajanya bernama Purnawarman dan Ibukotanya terletak di Bekasi sekarang. Pada masa itu sampai abad ke-7, sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, agama Hindu sebagai agama resmi negara, sistem kasta berbentuk stratifikasi sosial dan hubungan antar negara telah mulai terwujud walaupun masih dalam tahap awal dan terbatas.
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, India dan China merupakan negeri luar yang menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanegara, tetapi kebudayaan Hindu dari India yang dominan dan berpengaruh di sini. Kerajaan Sunda baru muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanegara, pusat kerajaannya berada sekitar Bogor sekarang. Paling tidak ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda sebagai nama kerajaan, pertama dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi). kedua beberapa buah naskah lama (Carita Parahiyangan, Sanghiyang siksa kendang karesian). Ibu kota kerajaan Sunda di namai Pakuan Padjadjaran.
Dalam tradisi lisan dan Naskah sesudah Abad ke-17, Pakuan biasa disebut untuk nama Ibu kota sedangkan Padjadjaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuh sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa kejayaan antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan dengan dunia luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada dua raja termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja). Ibu kotanya pernah berada di Kawali, Galuh. Pada masa pemerintahan Prabu Maharaja (1350-1352) terjadi konflik dengan Majapahit, karena masalah pernikahan putri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), dan putranya, Prabu Surawisesa (1521-1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara kerajaan Padjadjaran dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dari kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang bisa diekspor. Kota Pelabuhan yang besar antara lain Banten, Sunda Kelapa (Jakarta sekarang) dan Cirebon, sistem ladang merupakan cara bertani rakyatnya. Ada jalan raya darat yang menghubungkan Ibukota kerajaan dengan Banten disebelah barat, Kelapa disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh disebelah timur. Dari daerah pedalaman ke pesisir utara dihubungkan dengan jalur lalu lintas sungai dan jalan menyusuri pantai.
Pedagang Islam sudah berdatangan ke kota - kota pelabuhan Kerajaan Sunda untuk berdagang dan memperkenalkan ajaran Islam. Lama kelamaan para pedagang Islam bermukim di kota - kota pelabuhan Sunda, terutama di Banten, Karawang dan Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang menganut Agama Islam. Berkat dukungan Kesultanan Demak berdirilah kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten yang dalam perkembangan selanjutnya mendesak kekuasaan kerajaan Sunda sampai akhirnya menumbangkan sama sekali (5179). Sementara di daerah pesisir berkembang kekuasaan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan di daerah pedalaman muncul kabupaten - kabupaten yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu : Sumedang, Galuh, Sukapura, Limbangan, Parakanmuncung, Bandung, Batulayang dan Cianjur.
Periode selajutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda mengalami babak baru, karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur kekuasaan Mataram (sejak 1625). Secara perlahan - lahan tapi pasti akhirnya seluruh Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19) karena itu mulailah zaman kekuasaan kolonial Hindia Belanda.
Tanah Sunda yang subur dan orang - orang yang rajin bekerja menjadikan pengeksploitasian tersebut sangat mengutungkan penguasa kolonial Belanda sehingga membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal disini dan yang berada di tanah leluhurnya (Belanda). Sebaliknya rakyat pribumi tidak mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan banyak yang hidupnya menderita, kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat dan kerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum Menak.
Pada sisi lain masuknya penjajahan itu menimbulkan ketidakpuasan dan bahkan penentangan sebagian masyarakat. Di bawah beberapa pemimpinnya timbulah serangkaian perlawanan dan pemberontakan rakyat, seperti yang dipimpin oleh Dipati Ukur di Priangan (1628 - 1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan pangeran Purbaya di Banten (1659 - 1683), Prawatasari di Priangan (1705 - 1708), Kiai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750 - 1752), Bagus Rangin (1802 - 1818), Kiai Hasan Maulani di Kuningan (1842), Kiai Washid di Banten (1888), Kiai Hasan Arif di Garut (1918).
Ketidakpuasan masyarakat terus berlanjut, walaupun penguasa kolonial mengupayakan perbaikan kehidupan masyarakat melalui program pendidikan, pertanian, perkreditan dan juga menerapkan sistem ekonomi bagi Pemerintahan Pribumi. Sejak awal abad ke-20 muncul gerakan penentang sosial dan organisasi politik seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Paguyuban Pasundan dan Partai Nasional Indonesia.
Melalui pendudukan Militer Jepang (1942 - 1945) yang mengakhiri kekuasaan kolonial Hindia Belanda (menyerah di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942) dan menumbuhkan keberanian di kalangan orang pribumi untuk melawan kekuasaan asing dan memberikan bekal keterampilan perang pada tahun 1945 masyarakat Sunda, umumnya masyarakat Indonesia berhasil mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu masyarakat dan Tanah Sunda berada dalam lingkungan negara Republik Indonesia.
Secara historis Propinsi Jawa Barat yang dibentuk berlandaskan Undang - undang No. 11 Tahun 1950 dengan Bandung sebagai ibukotanya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Pemerintah Daerah berpedoman pada Undang - undang Dasar 1945, Undang - undang No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan peraturan perundangan lainnya, dan dalam perkembangan terakhir dengan berlakunya Undang - undang No. 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan Otonomi Daerah.
Dengan terbentuknya Propinsi Banten pada bulan Nopember tahun 2000, jumlah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat terdiri dari 16 Kabupaten, yaitu Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan dan 9 Kota, yaitu Bandung, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar.

Arti Logo

 
Lambang berbentuk bulat telur, bentuk ini berasal dari bentuk perisai yang banyak dipakai oleh laskar-laskar kerajaan zaman dahulu :
KUJANG
    - Gambar pokok
    - Sebuah alat serbaguna yang sangat dikenal disetiap rumah tangga sunda
    - Jika perlu dapat dipergunakan sebagai alat penjaga diri
    - 5 lubang melambangkan Lima Dasar Negara "Pancasila"
PADI
    - melambangkan PANGAN yang merupakan bahan makanan pokok di Jawa Barat
    - Jumlah padi 17 melambangkan hari ke 17 dari bulan Proklamasi
KAPAS
    - Melambangkan SANDANG
    - Jumlah kapas 8 buah melambangkan bulan ke 8 dari tahun Proklamasi
    - Padi dan Kapas pada dasar hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran tanah Jawa Barat
GUNUNG
      Bagian terbesar dari daerah Jawa Barat adalah pegunungan
SUNGAI DAN PERKEBUNAN
      Melambangkan sungai, terusan dan saluran air yang banyak terdapat di daerah Jawa Barat
SAWAH DAN PERKEBUNAN
    - Jumlah sawah terbesar di seluruh daerah Jawa Barat
    - Perkebunan berada di bagian tengah dan selatan daerah Jawa Barat
DAM DAN BENDUNGAN
      Usaha dan pekerjaan di bidang irigasi merupakan salah satu pekerjaan yang mendapat     
      perhatian, mengingat sifat agraris daerah Jawa Barat

ARTI MOTTO DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

GEMAH RIPAH REPEH RAPIH

      Sebuah pepatah lama di kalangan masyarakat sunda yang berarti bahwa daerah Jawa Barat
      yang kaya raya ini didiami oleh penduduk yang padat serta hidup makmur dan damai

Nilai Budaya

Upacara adat perkawinan Sunda merupakan tambahan dari acara pokoknya, yaitu ijab dan qobul sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Agama Islam. Tambahan acara ini seringkali menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh yang hadir karena mengandung hal-hal yang bersifat humoris dan ada sesuatu yang dibagikan kepada hadirin. Namun demikian, acara adat tersebut tidaklah ada kaitannya dengan acara pokok akad nikah. Hal demikian itu, hanya sekedar hiburan sebagaimana halnya penyajian lagu-lagu, kasidahan atau orkes dangdut.
Bagian-bagian acara adat yang biasa dilaksanakan meliputi; nincak endog (menginjak telur) yang maksudnya adalah bahwa si mempelai penganten itu akan memulai malam pertamanya dengan indah. Ketika melaksanakan malam pertama itu, si penganten harus benar-benar hati-hati dan tidak “grasa-grusu”, sehingga nantinya menghasilkan yang baik. Nincak elekan (menginjak semacam bamboo yang biasa dibuat suling) maksudnya hamper sama. Hanya saja ini disimbolkan kepada “wanita”, sedangkan telor, lebih disimbolkan kepada laki-laki.
SelanjutnyaMeuleum Harupat (membakar segenggam yang berisi tujuh buah potongan lidi), maksudnya adalah membuang atau membakar sifat-sifat jelek yang ada pada diri manusia, seperti : iri, dengki, mudah tersinggung, pemarah, kikir, tamak dan sombong. Kemudian, Meupeuskeun kendi (memecahkan kendi), yang maknanya sama dengan akan melepasnya masa bujang dan gadis pada malam pertama.
Sedangkan, Ngaleupaskeun Japati (melepaskan burung dara) dan Melempar kanjutkunang (melempar tas kecil terbuat dari kain) kepada yang hadir, adapt ini melambangkan/symbol, bahwa kedua orang tua melepas penganten yang terakhir di keluarganya. Jadi yang terdapat dikeluarhganya dihabiskan atau dibagikan sebagai ungkapan rasa kebahagiaan atau pula sebagai tanda bahwa orang tua tersebut mengawinkan anaknya yang terakhir. 
Setelah itu acara sawer, yaitu melemparkan barang-barang seperti, beras kuning, permen, dan uang recehan seraya dibarengi lagu-lagu yang berisi pepatah bagi pengantin. Beras kuning, permen dan uang recehan adalah symbol keduniaan yang harus dicari oleh khususnya pihak laki-laki dan dipelihara oleh pihak wanita (isteri).
Setelah sawer kemudian dilakukan acara buka panto (buka pintu) yang dimaksudkan pembelajaran kepada pengantin dalam hal tata krama di rumah antara suami dan isteri.
Akhir dari acara adat pengantin sunda adalah acara “huap lingkung” yang berisi saling menyuapi dengan air minum, nasi kuning dan pabetot-betot bakakak (saling menarik ayam panggang) bagi yang dapat bagian terbesar dari ayam tersebut adalah pertanda akan mendapat rezeki yang banyak (jikalau diusahakan dengan baik). Pada acara huap lingkung inipun, dilakukan huap deudeuh dan huap geugeut yang artinya saling memberi sebagai tanda kasih sayang.

Sehari sebelum acara perkawinan dimulai,  dilakukan terlebih dahulu acara siraman terhadap kedua calon mempelai (secara terpisah) oleh kedua orang tua calon mempelai. Acara ini meliputi kegiatan; mandi kembang, berjalan diatas tujuh helai kain samping dan pengajian sebagai ugkapan permohonan keselamatan. Acara siraman ini dimaksudkan sebagai tanda kasih sayang orang tua yang terakhir khususnya dalam memandikannya karena setelah berkeluarga diserahkan kepada masing-masing. Acara sebelum hari pokok ini hampir sama untuk setiap daerahnya, baik acara Penganten jawa atau bahkan Sumatera.
Mengenai Lamanya acara adat ini, biasanya  sekitar dua jam dan dipandu oleh juru rias serta MC yang mengambil tempat biasanya di depan rumah (halaman depan) atau diselenggarakan secara khusus di gedung tempat resepsi dengan harapan dapat disaksikan oleh para tamu undangan.
Tidak semua acara perkawinan diikuti acara adat. Mungkin bagi mereka yang ingin simple-simpel saja pasti tidak dilakukan, tapi bagi mereka keluarga yang masih memegang kuat adapt walaupun anak-anaknya tidak saja, apa boleh buat harus diikuti. Sekali lagi diingatkan, bahwa acara adat itu sekedar tambahan yang bersifat hiburan dan tidak mengandung makna ibadah langsung. Sekedar meramaikan. Dikerjakan boleh, tidakpun tidak apa-apa.
 
Sumber : http://www.kemendagri.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar